Ironi Penegakan Hukum di Indonesia

IMG_0001Pandangan Dr Suparman Marzuki dituangkan dalam bukunya yang berjudul Tragedi Politik Hukum HAM. Menurutnya, sampai sejauh ini produk Undang- Undang mengenai HAM masih memiliki banyak kelemahan substansial.

Suparman mencontohkan dua produk hukum HAM yang dihasilkan setelah lengsernya Soeharto (UU 26 Tahun 2000 dan UU No 27 Tahun 2004) masih mengandung catat bawaan, sehingga sangat lemah untuk menjerat pelaku pelanggaran HAM.

Bahkan,Dr Suparman juga menilai pembuatan Undang-Undang HAM sepertinya hanya sebagai instrumen untuk nilai kedemokrasian, bukan sebagai pokok syarat tegaknya demokrasi.Artinya, dibuatnya Undang- Undang HAM tidak lebih dari semangat asal ada dan desakan publik.

Padahal seperti dituliskan Moh Mahfud MD dalam pengantar buku ini, dalam teori hubungan residual antara kekuasaan dan HAM, yang seharusnya memperoleh prioritas adalah HAM, bukan kekuasaan, lalu HAM. Namun, kenyataan yang terjadi pengaruh politik sangat kuat dalam pembentukan Undang-Undang HAM.

Seperti dituliskan Dr Suparman, adanya konfigurasi pengaruh politik yang terpecah di DPR–antara aktor politisi sisa Orde Baru dan kelompok proreformasi– sangat menentukan terhadap produk Undang- Undang HAM yang ada saat ini. Kepentingan-kepentingan politik dalam penggodokan Undang-Undang selalu menjadi problem serius.

Karena apabila undang-undang HAM dibuat secara serius, ditengarai akan banyak elite politik sisa Orde Baru yang terjerat Undang-Undang HAM. Itulah sebuah ironi saat kita berbincang tentang produk hukum HAM di negeri ini.

Sekali pun pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional HAM Tahun 2011–2014, tidak cukup optimistis untuk dijadikan sandaran keyakinan penegakan HAM akan berlangsung baik.Peraturan Presiden tanpa dukungan politik yang kuat akan mati suri.

Bukan maksud menanamkan pesimisme, melainkan kenyataan selalu membuktikan pengaruh politik sangat kuat menentukan pelaksanaan kebijakan eksekutif. Apalagi, karakter kekuatan politik eksekutif selama ini dalam keadaan yang oleh Carl Friedrich (1073) disebut the rule of anticipated reactions.

Buku yang dipengantari Moh Mahfud MD ini memiliki sisi menarik dan kebaruan cara pandang, mengingat kajian terhadap HAM dari perspektif politik hukum jarang ditemui. Apalagi, Suparman mengambil aspek referensi kerangka hukum progresif, sehingga tidak tampak normatif dalam menjabarkan analisis atas perkembangan politik hukum pasca Soeharto.

Juga tak kalah menariknya, dalam buku setebal 497 halaman ini Suparman mendasari pandangan asas politik demokrasi dalam melihat perkembangan hukum HAM di Tanah Air. Ia mencoba mengeksplorasi dan mengolaborasi tema demokrasi, hukum, dan HAM.Menurutnya pemerintahan demokratis tak cukup sekadar menggelar pemilu.

Karena Pemilu hanya bagian dari proses politik, bukan segala-galanya sebagai ukuran, meski ia sebagai syarat demo-krasi.Pemilu adalah siasat agar apa yang menjadi hak dasar kemanusiaan rakyat terpenuhi. Yang terpenting sebenarnya adalah pengakuan terhadap hak asasi manusia (HAM).

HAM merupakan pijakan paling fundamental mengapa negara didirikan dan pemerintahan diselenggarakan. Sederhananya, tema dasar pembahasan dalam buku ini menyangkut hal tersebut. Buku yang ditulis oleh Dr Suparman ini, secara khusus menyajikan potret perjalanan politik hukum HAM pasca lengsernya kepemimpinan Soeharto.

Ia menyajikan dengan model deskriptif- analitis sejak kepemimpinan Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Meski pandangan Dr Suparman sangat kritis terhadap produk hukum HAM yang ada, ia tetap objektif menilai.

Namun, semua itu masih menyimpan ironi karena produk hukum yang dihasilkan memiliki banyak kelemahan.Kelemahan itu dikonstruksi oleh tekanan kepentingan politik. Fathor Rahman MD.

 (Tulisan ini dimuat Seputar Indonesia, 26 Juni 2011)

Diterbitkan oleh gustur

saya laki-laki sederhana yang biasa sederhana

Tinggalkan komentar